Shalawat Nariyah
SHALAWAT NARIYAH
Pertanyaan
“Allahumma shalli shalaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman alaa sayyidini Muhammadin allazi tanhallu bihil uqad, wa tatafarraju bihil kurab, wa tuqdha bihil hawaaij, wa tunaalu bihirraghaaib, wa husna khawatim wa yustasqal ghamamu biwajhihil karim wa alaa aalihi wa shahbihi fi kulli lamhatin wa nafsin.”
(Ya Allah, semoga shalawat dan salam yang sempurna terlimpah kepada Sayyidina Muhammad yang dengannya kesulitan akan terurai, bencana akan hilang, kebutuhan akan terpenuhi, keinginan akan tercapai, akan mendapat akhir yang baik, awan diharapkan menurunkan hujan, dengan wajahnya yang mulia. Juga shalawat untuk keluarganya dan para shahabatnya dalam setiap desah dan nafas.”
Apa yang disebutkan di atas dikenal sebagai shalawat Nariyah. Di India, dibaca sebanyak 4444 kali apabila sedang terjadi bencana. Di baca di salah satu rumah dengan mendatangkan sejumlah santri dan kepala sekolahnya.
- Apa makna kalimat di atas?
- Orang-orang berkata, jika kalimat kalimat ini tidak mengandung syirik, maka tidak mengapa terus membacanya, karena tidak berbahaya dan dia termasuk zikir yang dapat mengingatkan kepada Allah dan dengannya kita dapat menambahkan doa untuk mendekatkan diri kepada Allah serta menjauhkan kita dari berbagai bencana.
- Apa hukum membaca maulid, apakah ada problem jika dibaca secara rutin oleh siswa sekolah atau imam masjid?
Jawaban
Alhamdulillah.
1. Kalimat yang telah disebutkan di atas sebenarnya sudah jelas, akan tetapi tidak mengapa dijelaskan lagi lebih banyak;
- (تنحل به العقد) Dengannya simpul akan terurai. Maksudnya bahwa orang tersebut akan mendapatkan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya atau dari perkara yang sulit dia pecahkan. Boleh juga dimaknai sebagai yang dapat meredam kemarahan.
- (تتفرج به الكرب) Kepedihan akan sirna. Maksudnya adalah hilangnya kesedihan dan kegundahan akan sirna dari dalam jiwa.
- (تقضى به الحوائج) Kebutuhan akan dipenuhi. Maksudnya adalah bahwa dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan dan dia upayakan.
- (تنال به الرغائب وحسن الخواتيم) Keinginan tercapai dan akhir kehidupan yang baik. Maksudnya adalah cita-citanya terwujud, baik di dunia atau akhirat. Di antaranya mendapatkan akhir kehidupan yang baik.
- (يستسقى الغمم بوجهه الكريم) Maksudnya adalah berdoa kepada Allah Ta’ala untuk diturunkan hujan.
2. Apa yang dikatakan sebagian orang kepada anda bahwa shalawat ini tidak mengandung kesyirikan dan karenanya boleh terus dibaca dan seterusnya, adalah batil, karena shalawat ini mengandung beberapa penyimpangan syariat yang sangat jelas, di antaranya;
- Shalawat ini dibaca ketika terjadi musibah. Ini merupakan cara mengada-ada membuat sebab dalam melakukanibadah.
- Jumlah bacaannya ditentukan 4444 kali. Inipun jumlah yang dibuat-buat dalam melakukan ibadah.
- Membacanya dilakukan secara berjamaah. Ini juga merupakan cara mengada-ada dalam teknik membacanya dalam ibadah.
- Di dalamnya terdapat penyimpangan syariat dan syirik serta sikap berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta menyandarkan perbuatan kepadanya yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Ta’ala, seperti memenuhi berbagai keinginan, menyelesaikan problem, meraih keinginan, husnul khotimah. Padahal Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk berkata, “Katakanlah, sungguh aku tidak memiliki bahaya dan petunjuk bagi kalian.”
- Padanya terdapat tindakan meninggalkan syariat kemudian mengada-ada shalawat dan doa dari dirinya sendiri. Sikap ini mengandung tuduhan terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalai menjelaskan apa yang dibutuhkan manusia. Hal ini berarti menambah syariatnya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang mengada-ada dalam perkara (agama) kami yang tidak bersumber darinya, maka dia tertolak.”
منْ أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
[HR. Bukhari, no. 2550, Muslim, no. 1718. Dalam riwayat Muslim, no. 1718 disebutkan, ‘Siapa melakukan amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami, maka dia tertolak.]
Ibnu Rajab Hambali rahimahullah berkata, “Ini merupakan salah satu prinsip Islam yang sangat agung. Dia bagaikan barometer untuk menetapkan amal secara zahir, sebagaimana hadits ‘Setiap amal ditentukan berdasarkan niat’ merupakan barometer untuk menentukan amal secara batin. Maka sebagaimana amal yang tidak ditujukan karena Allah, maka pelakunya tidak mendapatkan pahala, begitupula amal yang dilakukan tidak berdasarkan ajaran dari Allah dan Rasul-Nya, maka dia tertolak dari pelakunya. Semua yang mengada-ada dalam agama dengan sesuatu yang tidak Allah dan Rasul-Nya ajarkan, maka dia bukan termasuk agama sama sekali.” [Jami Al-Ulum wal Hikam, 1/180]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan salah satu landasan Islam yang sangat agung. Dia termasuk Jawamiul Kalim Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (ucapan yang sedikit namun mengandung makna yang dalam) Karena di dalamnya mengandung penegasan yang menolak segala bidah dan tindakan mengada-ada. Dalam riwayat kedua terdapat tambahan. Maksudnya, boleh jadi seseorang melakukan bidah yang sudah dilakukan sebelumnya. Maka jika disampaikan kepadanya dalil “Siapa yang mengada-ada…” (من أحدث…) dia akan berkata, “Saya tidak mengada-ada perbuatan (karena sudah ada yang melakukannya sebelumnya). Maka orang seperti ini diberikan dalil, “Siapa yang berbuat….” (من عمل…) yang padanya terdapat penegasan menolak semua bentuk bid’ah, apakah pencetusnya orang tersebut atau telah ada sebelumnya orang yang melakukannya. Hadits ini layak dihafal dan digunakan untuk membantah kemungkaran dan sering-sering berdalil dengannya.” (Syarh Muslim, 12/16)
3. Adapun mengenai maulid. Melaksanakannya adalah bid’ah. Seandainya ia perbuatan baik, niscaya orang-orang sebelum kita dari kalangan para shahabat yang paling mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan lebih dahulu melakukannya. Sejarah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang dibaca pada pelaksanaan maulid tersebut mayoritas adalah dha’if (lemah) atau mudhu’ (palsu). Bahkan di dalamnya terdapat ghuluw (pemujaan berlebihan) terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Berikut ini pendapat para ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah ditanya tentang orang yang setiap tahun melakukan khataman pada malam maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apakah hal itu dianjurkan atau tidak?
Beliau menjawab:
Berkumpulnya orang-orang untuk makan-makan pada dua malam Id dan hari-hari tasyrik adalah sunnah. Dia termasuk syiar Islam yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum muslimin. Menolong kaum fakir memberi makan di bulan Ramadan adalah termasuk sunah dalam Islam. Rasulullah shallallahu alaihi sallam bersabda, “Siapa yang memberi makan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang itu.” Memberi makanan kepada para penghafal Al-Quran untuk membantu mereka agar dapat terus menghafal Al-Quran juga merupakan amal shaleh di setiap waktu. Siapa yang menolong mereka, maka mereka mendapatkan pahalanya pula.”
Akan tetapi menetapkan satu waktu sebagai waktu khusus secara syar’I seperti malam-malam di bulan Rabi’ul Awal yang dikatakan sebagai bulan maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah, atau awal Jum’at di bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang oleh orang-orang bodoh dikatakan sebagai ‘Hari raya orang-orang mulia’. Semua itu adalah bid’ah yang tidak dianjurkan kaum salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallahua’lam. [Fatawa Kubra, 4/415]
Ibnu Al-Haj berkata : “Sebagian mereka pada masa sekarang ini ada yang melakukan sebaliknya. Yaitu mereka apabila masuk bulan yang mulia ini, bulan Rabiul Awal, larut dalam kegiatan bersenang-senang, permainan dan gendang atau perbuatan lainnya.
Siapa yang hendak menangis, tangisilah Islam dalam dirinya dan keterasingannya serta keterasingan pemeluknya yang melaksanakan sunahnya.
Seandainya mereka hanya sekedar bernyanyi saja masih lumayan. Akan tetapi sebagian mereka mengaku bahwa dia berlaku sopan. Maka mereka mengawali bacaan maulidnya dengan membaca Al-Kitab Al-Aziz (Al-Quran) lalu mereka melihat siapa yang paling mengetahui cara membangkitkan emosi jiwa. Lalu dia membaca sebanyak sepuluh kali. Tindakan ini mengandung keburukan dari beberapa sisi:
Di antaranya, apa yang dilakukan pelantun bacaan dengan cara tercela secara syar’i dan pengulangan seperti pengulangan lagu-laguan. Telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua, di dalamnya terdapat tindakan tidak sopan dan kurang menghormati Kitabullah Azza wa Jalla.
Ketiga, Mereka memenggal bacaan Kitabullah Ta’ala lalu larut dalam syahwat jiwa dengan mendengarkan nyanyian dan suara gendang, dan suara mendayu biduan atau lainnya.
Keempat, Mereka menampakkan apa yang tidak ada pada batin mereka. Ini adalah sifat nifak (munafik) yaitu seseorang menampakkan sesuatu pada yang diinginkan adalah selainnya. Kecuali kalau hal tersebut perkara yang dikecualikan secara syariat. Hal tersebut karena mereka mengawalinya dengan bacaan Al-Quran, akan tetapi yang diinginkan sebagian mereka dan hatinya bergantung kepada nyanyian.
Kelima; Sebagian meremehkan bacaan Al-Quran karena dorongan kuatnya untuk mendengarkan lagu sesudahnya sebagaimana telah disebutkan.
Keenam; Sebagian pendengar, apabila bacaan Al-Quran terasa panjang oleh mereka, maka mereka berdehem-dehem karena merasa kepanjangan, dan dia belum sampai mereka memulai apa yang mereka inginkan berupa nyanyian. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang Allah cirikan tentang orang yang takut di antara orang beriman, karena mereka suka mendengar firman Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,
وَاِذَا سَمِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَى الرَّسُوْلِ تَرٰٓى اَعْيُنَهُمْ تَفِيْضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوْا مِنَ الْحَقِّۚ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اٰمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشّٰهِدِيْنَ
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad ” [Al-Maidah/5: 83]
Allah Ta’ala memberikkan sifat kepada mereka yang mendengar firman-Nya seperti yang Dia sebutkan. Sementara sebagian dari mereka melakukan sebaliknya. Karena setelah mereka mendengar firman Tuhannya, mereka justeru mulai menerima dan bergembira ria serta berdendang dengan sesuatu yang tidak pantas, innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun, atas sikap tidak punya malu dengan perbuatan dosa yang merupakan salah satu perbuatan setan sementara dari sana mereka mengharap pahala dari Tuhan semesta alam. Kemudian setelah itu mereka sedang beribadah dan melakukan kebaikan. Seandainya hal tersebut dilakukan oleh orang rendahan, masih mudah diterima, akan tetapi merupakan musibah besar adalah manakala yang melakukannya dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu dan suka beribadah, begitupula dilakukan oleh orang yang dipanggil sebagai syekh yang mendidik murid-muridnya. Semuanya ikut melakukannya.
Yang mengherankan, bagaiman tipu muslihat setan ini tidak dapat mereka sadari. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang yang meminum khamar, jika dia meminumnya, maka ketika khamar sudah mulai mengalir, sedikit demi sedikit menggerakkan kepalanya. Jika mabuknya semakin berat, maka hilanglah rasa malunya dan kehormatannya di hadapan orang-orang yang melihatnya, dan tersingkaplah apa yang selama ini ingin dia tutupi dari teman-temannya.
Marilah kita melihat, semoga Allah merahmati kita, sang penyanyi tersebut, engkau lihat dia adalah orang yang memiliki wibawa, penampilan yang baik menjadi panutan dalam ilmu dan kebaikan dan didengar ucapannya, namun ketika suara gendang sudah mulai ditabuh, kepalanya mulai bergerak-gerak persis sebagaimana dilakukan pencandu khamar dan jika gendang sudan semakin nyaring ditabuh, hilanglah rasa malu dan kewibawaannya dalam khamarnya, kemudian dia mulai menari, bersiul, memanggil-manggil, menangis atau berpura-pura menangis, khusyu, masuk dan keluar, membentangkan tangan, mengangkat kepala ke langit, seakan-akan datang kepadanya bantuan, keluar busa dari mulutnya, kadang dia merobek bagian bajunya dan merusak jenggotnya.
Ini adalah kemungkaran yang jelas, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melanrang menyia-nyiakan harta dan tidak diragukan lagi bahwa merobek baju termasuk bagian dari itu.
Kedua, secara zahir, perbuatan tersebut merupakan tindakan yang keluar dari cara orang berakal, karena perbuatan semacam itu dilakukan oleh orang gila pada umumnya. [Al-Madkhal, 2/5-7]
Al-Lajnah Ad-Daimah berkata:
“Mengadakan perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak dibolehkan karena merupakan bid’ah yang diada-adakan. Juga karena tidak pernah dilakuukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak pula Khulafaurrasyidun, tidak pula dilakukan oleh para ulama di tiga abad (pertama) yang utama.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3/2]
Syekh Ibn Baz ditanya, Apakah boleh kaum muslimin merayakan dan memperingati sejarah Nabi yang mulia di masjid pada malam tanggal 12 Rabiul Awal dengan moment kelahiran Nabi yang mulia tanpa harus libur di siang harinya seperti hari Id. Terjadi perbedaan di antara kami. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah bid’ah hasanah (baik), tapi ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah bid’ah ghairu hasanah (tidak baik)?
Beliau menjawab.
Seorang muslim tidak boleh merayakan peringatan Maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam 12 Rabiul Awal, atau pada malam lainnya. Sebagaimana mereka juga tidak boleh merayakan peringatan maulid untuk selain beliau. Karena peringatan hari kelahiran merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memperingati hari kelahirannya semasa hidupnya padahal dia adalah penyampai ajaran agama dan syariat dari Tuhannya, tapi beliau tidak memerintahkannya. Begitupula para Khulafaurrasyidun serta seluruh shahabat dan tabiin pada abad-abad yang utama. Maka dengan demikian diketahui bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” متفق على صحته ، وفي رواية مسلم – وعلقها البخاري جازما بها – : ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
‘Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak bersumber darinya, maka dia tertolak.” (Muttafaq alaih) Dalam riwayat Muslim, beliau bersabda, “Siapa yang beramal (ibadah) yang bukan merupakan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.”
Memperingati maulid tidak diperintahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi dia merupakan perkara yang diada-adakan orang lain dalam urusan agama oleh orang-orang belakangan. Maka dia tertolak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbahnya pada hari Jumat,
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ” رواه مسلم في صحيحه ، وأخرجه النسائي بإسناد جيد وزاد : ” وكل ضلالة في النار
“Amma ba’du, sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Muslim dalam shahihnya. An-Nasai menambahkan dengan sanad yang baik, “Setiap yang sesat di neraka].
Cukuplah perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam digantikan dengan mempelajari sejarahnya kehidupannya baik pada masa jahiliah atau pada masa datangnya Islam di sekolah-sekolah, masjid-masjid atau selainnya. Termasuk menjelaskan tentang kelahiran beliau dan hari wafatnya, tanpa harus mengadakan perayaan yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya serta tidak dalil syari’i.
Kita mohon pertolongan kepada Allah, semoga seluruh kaum muslimin mendapatkan hidayah dan taufik-Nya agar mencukupkan diri dengan sunnah dan menghindari perbuatan bid’ah.” [Fatawa Syekh Ibn Baz, 4/289]
Wallahua’lam.
Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3276-shalawat-nariyah.html